Rabu, 25 April 2018

BAB III (Akhlak Terpuji Kepada Allah)


A.  IKHLAS
1.      Pengertian Ikhlas
           Ikhlas berarti memurnikan niat hanya semata-mata mencari ridla Allah SWT, atau semata-mata mentaati perintah-Nya. Setiap muslim dididik agar ikhlas dalam melakukan apa pun. Orang yang beramal secara ikhlas disebut mukhlis. Hanya dengan niat yang ikhlas, amalan baik manusia akan diterima di sisi Allah SWT. Sebagaimana diajarkan Al Qur’an dalam bacaan shalat berikut ini.
Artinya:
Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. (Q.S. al-An’am/6: 162)

Imam Khomeini dalam buku empat puluh hadits menjelaskan bahwa keikhlasan yang merupakan lawan dari riya berarti beramal yang semata-mata karena Allah dan bukan membela kepentingan diri sendiri. Orang yang ikhlas dihubungkan oleh beliau berdasarkan al-Qur’an surah an-Nisa/4 ayat 100 yang
È
Artinya :
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An Nisaa/4 : 100).

Itulah yang disebut ikhlas. Kita ini seringkali beramal dan tidak keluar dari rumah kita ini. Kita sering beramal untuk diri kita sendiri. Pada hal itu belum termasuk ikhlas, maka hal ini termasuk musyrik, karena yang disebut tauhid yang sejati adalah beramal hanya untuk Allah SWT.
Sayidina Ali RA berkata : “Kalau orang beribadah karena takut kepada Allah, maka itu adalah ibadahnya hamba sahaya. Kalau orang beribadah supaya mendapat pahala maka itu adalah ibadahnya pedagang. Dan kalau orang beribadah karena cinta, maka itu baru ikhlas”.
Prof Dr. Hamka mendefinisikan ikhlas ialah bersih, tidak ada campuran, ibarat emas adalah emas tulen tidak bercampur perak sedikitpun. Dengan demikian ikhlas berarti murni dan bersih dari sifat tamak, riya dan sombong kepada siapapun juga.
Sedangkan menurut Ruwaim, ikhlas ialah menganggap perbuatan itu bukan dari diri sendiri.
Beramal dengan ikhlas adalah amal kebajikan yang semata-mata karena Allah, semata-mata karena mengharap keridloan-Nya. Ikhlas adalah ruh suatu amal dan amal kebajikan yang diamalkan seseorang yang tidak disertai dengan ikhlas, maka amal yang demikian itu tidak mempunyai ruh.
Ikhlas kepada Allah adalah hanya semata-mata percaya kepada-Nya, tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain pada dzat, sifat, dan kekuasaan-Nya.
Adapun sifat-sifat yang merusak ikhlas antara lain adalah :
·         Riya' adalah memperlihatkan amal untuk mendapatkan pujian dari orang lain.
·         Sum'ah ialah menceritakan amalan untuk mendapatkan perhatian dan sanjungan.
·         Nifaq ialah memamerkan amalan agar khalayak ramai memberikan penghargaan kepadanya, padahal hatinya sendiri benci pada amal itu.
·         Isyraf artinya bercampur dengan niat yang lain atau berserikat.

2.       Perintah Ikhlas.
             Dalam hal beribadah kepada Allah harus dengan ikhlas bukan karena mengharap yang lain, mengharap pahala atau karena takut kepada siksa-Nya karena kalau kita menyembah Allah bertujuan untuk memperoleh pahala atau karena takut siksa-Nya maka ibadah yang kita lakukan belum tergolong ikhlas. Ikhlas beribadah kepada Allah itu tidak lain karena kita tunduk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Allah SWT berfirman :
!
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (QS Al Bayyinah/98 : 5).

Pada ayat lain juga ditegasan

Artinya :
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS Az Zumar/39 : 11).
Ikhlas atau tidaknya seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan sangat tergantung niatnya, jika niatnya baik maka hasilnya kan baik, namun sebaliknya. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيّ.
Artinya :
Dari Umar bin Khattab RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung niatnya. Sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya benar-benar kepada Allah dan RasulNya. Barang siapa hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dihijrahinya”. (HR Bukhari)

Pada hadits lain dijelaskan :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا عَلَى الْإِخْلاَصِ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَعِبَادَتِهِ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ مَاتَ وَاللَّهُ عَنْهُ رَاضٍ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه
Artinya :
Dari Anas bin Malik RA, katanya : Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa meninggalkan dunia dalam keadaan ikhlas untuk Allah satu-satuNya, beribadah kepadaNya tanpa menyekutukanNya, menegakkan shalat dan menunaikan zakat, maka dia mati dan Allah meridlainya”. (HR Ibnu Majah)



B. TAAT

1.          Pengertian taat

Taat berasal dari kata Arab  طَاعَ - يَطَاعُ - طَوْعًا - طَاعَةً
Taat artinya patuh, senantiasa melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangannya.
Rasa patuh yang sesungguhnya hanya patut diberikan kepada Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Rasa patuh dan taat yang kita berikan kepada-Nya harus tanpa batas dan tanpa alasan apa-apa sehingga penyerahan diri kita ini menjadi total. Adapun taat yang dibahas dalam bab ini adalah sikap tunduk, patuh dan setia kepada Allah SWT dan rasul-Nya.
Allah memerintahkan kepada kita agar mentaati Allah dan RasulNya. Hal ini berati mentaati Rasulullah juga mentaati Allah. Jadi apabila tidak mentaati Rasulullah berarti juga tidak mentaati Allah. Hal ini disebabkan karena Rasulullah adalah utusan Allah yang melaksanakan perintah dari Allah.
Taat Kepada Rasulullah adalah senantiasa melaksanakan segala perintah Rasulullah dan meninggalkan segala laranganya. Perintah Rasulullah pasti benar, karena Rasulullah adalah manusia pilihan Allah yang terpelihara (ma’shum) dari perbuatan dosa dan diberi tugas menyampaikan ajaran-ajaran Allah.

2.          Dalil Naqli tentang Taat
Taat kepada Allah dan Rasul merupakan perkara yang diwajibkan, karena termasuk akhlak yang sangat mulia sebagai bentuk penghormatan kita kepada Allah dan Rasul. Allah, Dzat yang menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia serta Rasul yang menjadi panutan bagi kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Allah SWT berfirman :

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa : 59)

Ayat di atas berisi perintah secara tegas, agar setiap orang yang beriman harus taat kepada Allah, kepada hukum Allah, kepada rasul, dan ulil amri atau pemimpin (selama pemimpin tersebut berpegang kepada kitab Allah dan sunnah rasul). Jika ini dilakukan, maka akan berdampak baik bagi kita. Hidup menjadi terarah, tidak tersesat ke jalan yang munkar.
Pada ayat lain, Allah berfirman yang
 Artinya :
Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.(QS. An Nuur : 51)

Maksud ayat di atas adalah bahwa setiap mukmin dalam memutuskan perkara yang menyangkut kehidupan, yakni persoalan di antara kaum muslimin dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin, haruslah diserahkan (taat) kepada hukum Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As Sunnah). Mukmin selalu diarahkan untuk menggunakan dua hukum tersebut. Tidak ada kata-kata yang pantas diucapkan kecuali sami'na wa atha'na (kami mendengar dan kami taat). Apabila kita memiliki sikap demikian, maka kita termasuk orang-orang yang beruntung.

C. KHAUF

1.      Pengertian khauf
Khauf berasal dari Bahasa Arab  خَافَ – يَخَافُ - خَوْفًا   berarti takut. Islam mendidik umatnya agar memiliki sifat khauf, yakni takut akan murka Allah SWT, takut terkena ancaman atau siksa-Nya. Takut tersesat ke jalan yang salah. Sebaliknya ia selalu berharap agar hidupnya memperoleh ridla-Nya menuju bahagia dunia akhirat. Dengan demikian, kita akan mengetahui bahwa khauf yang dituntunkan Islam bukan sifat negatif seperti yang digambarkan oleh kebanyakan manusia.
Abul Kasim Al Hakim berkata: Barangsiapa yang takut dari sesuatu maka ia lari dari sesuatu yang ditakutinya, tetapi barang siapa yang takut kepada Allah maka ia lari kepada Allah, artinya setiap orang yang takut kepada Allah, maka bertambah taatnya kepada Allah dan selalu menjauhkan diri dari pelbagai perbuatan yang tidak diridlai Allah.
Abu Zakaria Anshari menerangkan bahwa takut kepada Allah adalah sumber taqwa. Menurut syara' taqwa berarti menjaga dan memelihara diri dari siksa dan murka Allah Ta'ala dengan jalan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta menjauhi perbuatan maksiat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa khauf atau takut kepada Allah merupakan sifat orang mukmin yang bertaqwa, karena dengan sifat takut kepada Allah dapat mendorong seseorang untuk meningkatkan amal ibadah kepada-Nya dan selalu menghindarkan diri dari perbuatan dosa.

2.      Perintah Khauf
Rasa takut kepada Allah ditentukan oleh iman seseorang, makin tebal keimanan seseorang makin kuat rasa takutnya kepada Allah. Firman Allah SWT :
وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya :
Dan takutlah kepada-Ku, jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. (Q.S. Ali Imran : 175)

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ. إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya :
Diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Q.S. Fathir : 28).
Artinya :
Mereka takut kepada Tuhannya yang berkuasa atas mereka.(Q.S. An Nahl : 50).

Diterangkan juga dalam hadits nabi SAW :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. رواه الترمذي

Artinya :
Dari Ibu Abbas RA, katanya : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Ada dua mata yang tidak tersentuh oleh neraka. Yaitu mata yang menangis karena takut Allah dan mata yang terjaga semalaman di jalan Allah”. (HR Turmudzi)

3.      Bentuk (contoh) perilaku khauf

-          Pak Mutaqin sangat yakin bahwa besuk di hari akhir semua amal perbuatan akan dihisab dan tidak ada satu perbuatanpun yang terlewat dari perhitungan Allah. Baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Menyadari hal itu Pak Mutaqin sangat hati-hati menjaga setiap perbuatan dan ucapannya. Beliau juga menjaga sekali ibadahnya; ketika waktu shalat tiba beliau segera bersiap-siap dan ambil wudhu; ketika panen beliau tidak menunda–nunda menyisihkan sebagian untuk zakat, karena takut yang dimakan masih tercampur dengan hak orang miskin.
-          Keluarga Pak Arif tergolong taat beragama. Sebagai kepala keluarga, Pak Arif senantiasa memberikan bimbingan kepada anggota keluarganya agar meningkatkan kualitas diri, antara lain rajin beribadah, rajin belajar dan membantu orang tua bagi anak-anaknya, rajin bekerja bagi diri sendiri dan sang istri, serta berbuat baik kepada tetangga. Hal ini dilakukan karena beliau sadar bahwa sebagai kepala rumah tangga berkewajiban untuk memelihara diri dan anggota  keluarganya dari siksaan api neraka, sebagaimana firman Allah berikut ini:
 
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim:6).

Dari makna yang terkandung dalam surat tersebut, Pak Arif merasa takut akan siksa api neraka, sehingga dari perbuatannya itu beliau mengharapkan ridla dan hidayah Allah agar keluarganya senantiasa dapat menjalankan ajaran agama Islam dengan benar.

D. TAUBAT

1.       Pengertian taubat

Taubat menurut bahasa berasal dari Bahasa Arab تَابَ – يَتُوْبُ - تَوْبَةً  yang artinya bertaubat atau menyesal (nadam).
Taubat dan Nadam adalah dua kata yang berkaitan arti, sebab kebiasaan orang bertaubat sesudah menyesal. Nadam artinya penyesalan.
Sedang pengertian menurut istilah Taubat adalah menghentikan perbuatan dosannya dan menyesal serta mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya. Menurut Sahal bin Abdullah At-Tasfury, taubat adalah mengganti gerakan-gerakan yang tercela dengan gerakan-gerakan yang terpuji dan hal yang demikian hanya akan sempurna dengan berkhalwat (menyendiri) berdiam diri dan makan-makanan yang halal.

2.      Syarat Diterimanya Taubat
Taubat yang diterima oleh Allah adalah taubat yang sungguh-sungguh atau taubat nasuha (توبة نصوحا ) yakni sesudah bertaubat itu tidak boleh kembali melakukan kejahatan serupa. Firman Allah SWT  :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ ...

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, Bertaubatlah kamu semua kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan mengampuni kesalahan-kesalahan kamu….”. (Q.S. At Tahrim : 8).

Taubat  menurut para ulama hukumnya wajib. Jika dosa atau maksiat itu terjadi antara manusia dengan Allah yang tidak ada kaitannya dengan manusia lain maka untuk menghilangkan dosa itu diperlukan tiga syarat, yaitu :
1)      Harus menghentikan perbuatan dosanya
2)      Harus menyesal atas perbuatan itu
3)      Harus mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya.
Tetapi jika perbuatan dosa tu ada hubungannya dengan manusia lain, disamping tiga syarat itu harus ada pernyataan bebas dari hak adami yang dirugikan itu.
Demikian juga menurut Abu Zakaria Muhyiddin An Nawawi dalam kitabnya Riyadus Shalihin  menerangkan bahwa taubat itu harus dilakukan dengan rukun-rukunnya. Adapun rukun-rukun taubat adalah:
1)      Menyesal atas dosa-dosa yang telah dikerjakan
2)      Berhenti dari maksiat
3)      Berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak meengulangi perbuatan dosa.
4)      Bila berbuat dosa kepada oranglain (sesama manusia) maka  harus disertai minta maaf kepada orang yang bersangkutan.




3.      Perintah Taubat.
Kewajiban bertaubat diterangkan dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW, antara lain :
Firman Allah SWT :
Artinya :
Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. (Q.S. An Nur : 31).

Artinya :
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahatan yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An Nisa : 17)

Sabda Nabi Muhammad SAW :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ. رواه مسلم
Artinya :
Dari Ibnu Umar RA, katanya : Rasulullah SAW bersabda : “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya aku sendiri bertaubat dalam seharinya 100 kali” (HR. Muslim).

Menurut Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Alkhaubawiyyi dalam kitabnya Durratun Nashihin, menerangkan bahwa sempurnanya taubat itu bisa berhasil dengan 8 cara yaitu :    
1)      menyesal terhadap dosa yang telah terdahulu
2)      menunaikan semua fardhu / kewajiban
3)      mengembalikan hak milik orang lain
4)      minta halal kepada para lawannya
5)      berniat tidak akan mengulangi (perbuatan dosa)
6)      mendidik atau melatih diri untuk taat kepada Allah sebagaimana kamu telah melatih / menuruti diri berbuat durhaka.
7)      memberikan rasa kepada dirimu akan pahitnya taat, sebagaimana engkau telah memberikan rasa kepada dirimu akan manisnya perbuatan durhaka.
8)      memperbaiki yang dimakan dan yang diminum (supaya yang halal).

Taubat seseorang tidak akan diterima jika orang tersebut melambat-lambatkan taubat, dan taubatnya orang-orang munafik, sebagaimana tidak akan diterima imannya orang-orang kafir ketika dalam keadaan putus asa seperti Fir’aun.