Sabtu, 28 April 2018
Rabu, 25 April 2018
BAB III (Akhlak Terpuji Kepada Allah)
A.
IKHLAS
1.
Pengertian
Ikhlas
Ikhlas berarti memurnikan
niat hanya semata-mata mencari ridla Allah SWT, atau semata-mata mentaati perintah-Nya. Setiap
muslim dididik agar ikhlas dalam melakukan apa pun. Orang yang beramal secara
ikhlas disebut mukhlis. Hanya dengan niat yang ikhlas, amalan baik manusia akan diterima di sisi Allah SWT. Sebagaimana diajarkan Al Qur’an dalam bacaan shalat berikut ini.

Artinya:
Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan seluruh alam. (Q.S.
al-An’am/6: 162)
Imam Khomeini
dalam buku empat puluh hadits menjelaskan bahwa keikhlasan yang merupakan lawan
dari riya berarti beramal yang semata-mata karena Allah dan bukan membela
kepentingan diri sendiri. Orang yang ikhlas dihubungkan oleh beliau berdasarkan
al-Qur’an surah an-Nisa/4 ayat 100 yang
È
Artinya :
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di
muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barang siapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS An Nisaa/4 : 100).
Itulah yang
disebut ikhlas. Kita ini seringkali beramal dan tidak keluar dari rumah kita
ini. Kita sering beramal untuk diri kita sendiri. Pada hal itu belum termasuk
ikhlas, maka hal ini termasuk musyrik, karena yang disebut tauhid yang sejati
adalah beramal hanya untuk Allah SWT.
Sayidina Ali RA
berkata : “Kalau orang beribadah karena takut kepada Allah, maka itu adalah
ibadahnya hamba sahaya. Kalau orang beribadah supaya mendapat pahala maka itu
adalah ibadahnya pedagang. Dan kalau orang beribadah karena cinta, maka itu
baru ikhlas”.
Prof Dr. Hamka mendefinisikan ikhlas ialah bersih, tidak ada
campuran, ibarat emas adalah emas tulen tidak bercampur perak sedikitpun.
Dengan demikian ikhlas berarti murni dan bersih dari sifat tamak, riya dan
sombong kepada siapapun juga.
Sedangkan menurut Ruwaim, ikhlas ialah menganggap perbuatan
itu bukan dari diri sendiri.
Beramal dengan ikhlas adalah amal kebajikan yang semata-mata karena
Allah, semata-mata karena mengharap keridloan-Nya. Ikhlas adalah ruh suatu amal
dan amal kebajikan yang diamalkan seseorang yang tidak disertai dengan ikhlas,
maka amal yang demikian itu tidak mempunyai ruh.
Ikhlas kepada Allah adalah hanya semata-mata percaya kepada-Nya, tidak
mempersekutukan-Nya dengan yang lain pada dzat, sifat, dan kekuasaan-Nya.
Adapun sifat-sifat yang merusak ikhlas antara lain adalah :
·
Riya' adalah memperlihatkan amal untuk mendapatkan pujian dari orang
lain.
·
Sum'ah
ialah menceritakan amalan untuk mendapatkan perhatian dan
sanjungan.
·
Nifaq
ialah memamerkan amalan agar khalayak ramai memberikan penghargaan
kepadanya, padahal hatinya sendiri benci pada amal itu.
·
Isyraf
artinya bercampur dengan niat yang lain atau berserikat.
2.
Perintah Ikhlas.
Dalam
hal beribadah kepada Allah harus dengan ikhlas bukan karena mengharap yang
lain, mengharap pahala atau karena takut kepada siksa-Nya karena kalau kita
menyembah Allah bertujuan untuk memperoleh pahala atau karena takut siksa-Nya
maka ibadah yang kita lakukan belum tergolong ikhlas. Ikhlas
beribadah kepada Allah itu tidak lain karena kita tunduk menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Allah
SWT berfirman :
!
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (QS Al
Bayyinah/98 : 5).
Pada ayat lain juga ditegasan
Artinya :
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS Az
Zumar/39 : 11).
Ikhlas
atau tidaknya seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan sangat tergantung
niatnya, jika niatnya baik maka hasilnya kan baik, namun sebaliknya. Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيّ.
Artinya :
Dari Umar bin Khattab RA berkata : Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung niatnya. Sesungguhnya setiap orang
akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada
Allah dan RasulNya, maka hijrahnya benar-benar kepada Allah dan RasulNya.
Barang siapa hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya atau karena
perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang
dihijrahinya”. (HR Bukhari)
Pada hadits lain dijelaskan :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَارَقَ
الدُّنْيَا عَلَى الْإِخْلاَصِ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَعِبَادَتِهِ لاَ شَرِيكَ لَهُ
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ مَاتَ وَاللَّهُ عَنْهُ رَاضٍ.
رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه
Artinya :
Dari Anas bin Malik RA, katanya : Rasulullah SAW bersabda : “Barang
siapa meninggalkan dunia dalam keadaan ikhlas untuk Allah satu-satuNya,
beribadah kepadaNya tanpa menyekutukanNya, menegakkan shalat dan menunaikan
zakat, maka dia mati dan Allah meridlainya”. (HR Ibnu Majah)
B. TAAT
1.
Pengertian taat
Taat berasal dari kata Arab طَاعَ - يَطَاعُ - طَوْعًا - طَاعَةً
Taat artinya patuh, senantiasa melaksanakan segala perintah dan
meninggalkan segala larangannya.
Rasa patuh yang
sesungguhnya hanya patut diberikan kepada Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Rasa
patuh dan taat yang kita berikan kepada-Nya harus tanpa batas dan tanpa alasan
apa-apa sehingga penyerahan diri kita ini menjadi total. Adapun taat yang
dibahas dalam bab ini adalah sikap tunduk, patuh dan setia kepada Allah SWT dan
rasul-Nya.
Allah memerintahkan kepada kita agar mentaati Allah dan RasulNya. Hal ini
berati mentaati Rasulullah juga mentaati Allah. Jadi apabila tidak mentaati Rasulullah berarti juga tidak mentaati Allah. Hal ini disebabkan karena Rasulullah adalah
utusan Allah yang melaksanakan perintah dari Allah.
Taat Kepada
Rasulullah adalah senantiasa melaksanakan segala perintah Rasulullah dan
meninggalkan segala laranganya. Perintah Rasulullah pasti benar, karena
Rasulullah adalah manusia pilihan Allah yang terpelihara (ma’shum) dari
perbuatan dosa dan diberi tugas menyampaikan ajaran-ajaran Allah.
2.
Dalil
Naqli tentang Taat
Taat kepada Allah dan Rasul merupakan perkara yang diwajibkan,
karena termasuk akhlak yang sangat mulia sebagai bentuk penghormatan kita
kepada Allah dan Rasul. Allah, Dzat yang menciptakan dan memberi kehidupan
kepada manusia serta Rasul yang menjadi panutan bagi kita dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Allah SWT berfirman :
Artinya :
Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa :
59)
Ayat di atas berisi perintah secara tegas, agar setiap orang yang
beriman harus taat kepada Allah, kepada hukum Allah, kepada rasul, dan ulil
amri atau pemimpin (selama pemimpin tersebut berpegang kepada kitab Allah dan
sunnah rasul). Jika ini dilakukan, maka akan berdampak baik bagi kita. Hidup
menjadi terarah, tidak tersesat ke jalan yang munkar.
Pada ayat lain, Allah berfirman yang
Artinya :
Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan
mereka Itulah orang-orang yang beruntung.(QS. An Nuur : 51)
Maksud ayat di atas adalah bahwa setiap mukmin dalam memutuskan
perkara yang menyangkut kehidupan, yakni persoalan di antara kaum muslimin
dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin,
haruslah diserahkan (taat) kepada hukum Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As
Sunnah). Mukmin selalu diarahkan untuk menggunakan dua hukum tersebut. Tidak
ada kata-kata yang pantas diucapkan kecuali sami'na wa atha'na (kami
mendengar dan kami taat). Apabila kita memiliki sikap demikian, maka kita
termasuk orang-orang yang beruntung.
C. KHAUF
1.
Pengertian
khauf
Khauf berasal dari
Bahasa Arab خَافَ
– يَخَافُ - خَوْفًا berarti takut. Islam mendidik umatnya agar
memiliki sifat khauf, yakni takut akan murka Allah SWT, takut terkena ancaman
atau siksa-Nya. Takut tersesat ke jalan yang salah. Sebaliknya ia selalu
berharap agar hidupnya memperoleh ridla-Nya menuju bahagia dunia akhirat.
Dengan demikian, kita akan mengetahui bahwa khauf yang dituntunkan Islam bukan
sifat negatif seperti yang digambarkan oleh kebanyakan manusia.
Abul Kasim Al Hakim berkata: Barangsiapa yang takut dari sesuatu
maka ia lari dari sesuatu yang ditakutinya, tetapi barang siapa yang takut
kepada Allah maka ia lari kepada Allah, artinya setiap orang yang takut kepada
Allah, maka bertambah taatnya kepada Allah dan selalu menjauhkan diri dari
pelbagai perbuatan yang tidak diridlai Allah.
Abu Zakaria Anshari menerangkan bahwa takut kepada Allah adalah
sumber taqwa. Menurut syara' taqwa berarti menjaga dan memelihara diri dari
siksa dan murka Allah Ta'ala dengan jalan melaksanakan perintah-perintah-Nya
dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta menjauhi perbuatan maksiat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa khauf atau
takut kepada Allah merupakan sifat orang mukmin yang bertaqwa, karena dengan
sifat takut kepada Allah dapat mendorong seseorang untuk meningkatkan amal
ibadah kepada-Nya dan selalu menghindarkan diri dari perbuatan dosa.
2.
Perintah Khauf
Rasa takut kepada Allah ditentukan oleh iman seseorang, makin tebal
keimanan seseorang makin kuat rasa takutnya kepada Allah. Firman Allah SWT :
وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya :
Dan takutlah
kepada-Ku, jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. (Q.S. Ali Imran : 175)
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ. إِنَّ
اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya :
Diantara hamba-hamba
Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa,
Maha Pengampun. (Q.S. Fathir :
28).

Artinya :
Mereka takut kepada Tuhannya yang berkuasa atas
mereka.(Q.S. An Nahl : 50).
Diterangkan juga
dalam hadits nabi SAW :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. رواه الترمذي
Artinya :
Dari Ibu Abbas
RA, katanya : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Ada dua mata yang tidak
tersentuh oleh neraka. Yaitu mata yang menangis karena takut Allah dan mata
yang terjaga semalaman di jalan Allah”. (HR Turmudzi)
3. Bentuk (contoh)
perilaku khauf
-
Pak Mutaqin sangat yakin bahwa besuk di hari akhir
semua amal perbuatan akan dihisab dan tidak ada satu perbuatanpun yang terlewat
dari perhitungan Allah. Baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Menyadari
hal itu Pak Mutaqin sangat hati-hati menjaga setiap perbuatan dan ucapannya.
Beliau juga menjaga sekali ibadahnya; ketika waktu shalat tiba beliau segera
bersiap-siap dan ambil wudhu; ketika panen beliau tidak menunda–nunda
menyisihkan sebagian untuk zakat, karena takut yang dimakan masih tercampur
dengan hak orang miskin.
-
Keluarga
Pak Arif tergolong taat beragama. Sebagai kepala keluarga, Pak Arif senantiasa
memberikan bimbingan kepada anggota keluarganya agar meningkatkan kualitas
diri, antara lain rajin beribadah, rajin belajar dan membantu orang tua bagi
anak-anaknya, rajin bekerja bagi diri sendiri dan sang istri, serta berbuat
baik kepada tetangga. Hal ini dilakukan karena beliau sadar bahwa sebagai
kepala rumah tangga berkewajiban untuk memelihara diri dan anggota keluarganya dari siksaan api neraka,
sebagaimana firman Allah berikut ini:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS.
At-Tahrim:6).
Dari makna yang terkandung dalam surat tersebut, Pak Arif merasa
takut akan siksa api neraka, sehingga dari perbuatannya itu beliau mengharapkan
ridla dan hidayah Allah agar keluarganya senantiasa dapat menjalankan ajaran
agama Islam dengan benar.
D. TAUBAT
1.
Pengertian taubat
Taubat menurut bahasa berasal dari Bahasa Arab تَابَ – يَتُوْبُ - تَوْبَةً yang
artinya bertaubat atau menyesal (nadam).
Taubat
dan Nadam adalah dua kata yang berkaitan arti, sebab kebiasaan orang
bertaubat sesudah menyesal. Nadam artinya penyesalan.
Sedang pengertian menurut istilah Taubat
adalah menghentikan perbuatan dosannya dan menyesal serta mempunyai tekad yang
bulat untuk tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya. Menurut Sahal bin
Abdullah At-Tasfury, taubat adalah mengganti gerakan-gerakan yang
tercela dengan gerakan-gerakan yang terpuji dan hal yang demikian hanya akan
sempurna dengan berkhalwat (menyendiri) berdiam diri dan makan-makanan yang
halal.
2.
Syarat
Diterimanya Taubat
Taubat yang diterima oleh Allah
adalah taubat yang sungguh-sungguh atau taubat nasuha (توبة
نصوحا ) yakni sesudah bertaubat itu tidak boleh
kembali melakukan kejahatan serupa. Firman Allah SWT :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى
رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ ...
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
Bertaubatlah kamu semua kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Tuhan kamu akan mengampuni kesalahan-kesalahan kamu….”. (Q.S. At Tahrim : 8).
Taubat menurut para ulama hukumnya wajib. Jika dosa
atau maksiat itu terjadi antara manusia dengan Allah yang tidak ada kaitannya
dengan manusia lain maka untuk menghilangkan dosa itu diperlukan tiga syarat,
yaitu :
1)
Harus
menghentikan perbuatan dosanya
2)
Harus
menyesal atas perbuatan itu
3)
Harus
mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya.
Tetapi jika perbuatan dosa tu ada
hubungannya dengan manusia lain, disamping tiga syarat itu harus ada pernyataan
bebas dari hak adami yang dirugikan itu.
Demikian juga
menurut Abu Zakaria Muhyiddin An Nawawi dalam kitabnya Riyadus Shalihin menerangkan bahwa taubat itu harus dilakukan
dengan rukun-rukunnya. Adapun rukun-rukun taubat adalah:
1)
Menyesal
atas dosa-dosa yang telah dikerjakan
2)
Berhenti
dari maksiat
3)
Berjanji
dengan sungguh-sungguh untuk tidak meengulangi perbuatan dosa.
4)
Bila
berbuat dosa kepada oranglain (sesama manusia) maka harus disertai minta maaf kepada orang yang
bersangkutan.
3.
Perintah Taubat.
Kewajiban bertaubat diterangkan dalam
Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW, antara lain :
Firman Allah SWT :

Artinya :
Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai
orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.
(Q.S. An Nur : 31).

Artinya :
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang
yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahatan yang kemudian mereka bertaubat
dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An Nisa : 17)
Sabda Nabi Muhammad SAW :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي
أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ. رواه
مسلم
Artinya :
Dari Ibnu Umar RA, katanya : Rasulullah
SAW bersabda : “Wahai manusia, bertaubatlah kepada
Allah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya aku sendiri bertaubat dalam
seharinya 100 kali” (HR. Muslim).
Menurut Utsman bin
Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Alkhaubawiyyi dalam kitabnya Durratun Nashihin,
menerangkan bahwa sempurnanya taubat itu bisa berhasil dengan 8 cara yaitu :
1)
menyesal
terhadap dosa yang telah terdahulu
2)
menunaikan
semua fardhu / kewajiban
3)
mengembalikan
hak milik orang lain
4)
minta
halal kepada para lawannya
5)
berniat tidak
akan mengulangi (perbuatan dosa)
6)
mendidik
atau melatih diri untuk taat kepada Allah sebagaimana kamu telah melatih /
menuruti diri berbuat durhaka.
7)
memberikan
rasa kepada dirimu akan pahitnya taat, sebagaimana engkau telah memberikan rasa
kepada dirimu akan manisnya perbuatan durhaka.
8)
memperbaiki
yang dimakan dan yang diminum (supaya yang halal).
Taubat seseorang tidak akan diterima
jika orang tersebut melambat-lambatkan taubat, dan taubatnya orang-orang munafik, sebagaimana
tidak akan diterima imannya orang-orang kafir ketika dalam keadaan putus asa
seperti Fir’aun.
Langganan:
Postingan (Atom)